Banda Aceh - Tanggal 23 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tani Nasional/Hari Agraria Nasional. Peringatan Hari Tani sebenarnya dilakukan untuk mengapresiasi perjuangan golongan petani di Indonesia. Peringatan Hari Tani bertepatan dengan disahkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960. Tema yang diambil pada peringatan Hari Tani tahun ini ialah “Selamatkan konstitusi, tegakkan demokrasi, dan jalankan reformasi agraria sejati”.
Dalam peringatan Hari Tani ke-63 tahun atau kurang lebih 6 dekade sejak UUPA disahkan, Indonesia mengalami berbagai krisis agraria dan sumber daya alam maupun krisis demokrasi pada 10 tahun era Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyak masalah struktural yang tidak pernah selesai. Mulai dari ketimpangan kepemilikan dan penguasaan agraria-sumber daya alam oleh investasi yang di fasilitasi oleh negara memicu kenaikan angka konflik agraria, kerusakan ekologis yang masif, krisis pangan, marginalisasi dan pemiskinan.
Masalah struktural lain yang timbul ialah krisis iklim. Kondisi ini sangat memengaruhi kehidupan Masyarakat yang bekerja sebagai petani salah satunya di wilayah Lhoknga, Aceh Besar. Selain itu, terjadinya krisis iklim juga memperparah kehidupan Masyarakat yang berprofesi sebagai petani di wilayah Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Salah satu dampak dari krisis iklim tersebut ialah terjadinya kekeringan di wilayah Aceh Besar.
Yeni Hartini selaku Koordinator Program SP Aceh mengatakan, kekeringan di wilayah Lhoknga sudah terjadi sejak tahun 2019 dan sejak Maret 2024 menjadi yang terparah dalam 10 tahun terakhir. Kekeringan tentunya sangat berdampak kepada petani karena para petani mengalami gagal tanam dan gagal panen karena sistem pertanian menggunakan metode tadah hujan dikarenakan tidak adanya irigasi di wilayah Lhoknga.
Hal tersebut disebabkan tidak memiliki irigasi, petani di wilayah Lhoknga hanya bergantung pada air hujan untuk pengairan. Akan tetapi, karena krisis iklim cuaca menjadi tidak menentu dan terjadinya kemarau yang berkepanjangan. Krisis iklim menyebabkan hasil pertanian menjadi sedikit bahkan cenderung gagal panen sehingga tidak banyak mendapatkan untung dari hasil penjualan.
Yeni juga menambahkan, selain untuk dijual, hasil dari pertanian juga digunakan untuk konsumsi sehari-hari para petani. Namun akibat dari perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen kemudian membuat para petani harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli kebutuhan pangan seperti beras dan sayuran. Selain dalam sektor pertanian, kekeringan yang terjadi di wilayah Lhoknga juga berdampak terhadap pemenuhan air warga sehari-hari, seperti untuk memasak.
"Walaupun selama ini sudah mendapatkan supply air dari pemerintah terkait, tetapi air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi sehingga juga mengharuskan warga untuk membeli air," ucapnya saat dikonfirmasi oleh tim sinaraceh.com, Kamis (24/9/2024).
Sebutnya lagi, pemerintah memiliki program ketahanan pangan karena kemarau, jadi beralih dari tanam padi ke tanam jagung. Hal ini membuat petani sebagian memilih tidak bercocok tanam karena tidak terbiasa menanam jagung dan untuk proses pemasaran juga masih tergolong sulit. Ekonomi terjepit karena untuk dikonsumsi harus membeli beras dan tidak terbiasa mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Dengan kondisi tersebut, Solidaritas Perempuan Aceh berharap pemerintah Aceh Besar memiliki langkah yang konkret dalam penanganan krisis iklim, terutama di sektor pertanian dan pemenuhan air bersih untuk masyarakat karena mayoritas masyarakat di wilayah Lhoknga berprofesi sebagai petani.
Ia juga menjelaskan, seharusnya pemerintah memiliki aturan yang menjamin ekonomi petani, seperti subsidi atau ganti kerugian bagi petani yang gagal tanam atau gagal panen sehingga ekonomi petani terus stabil. Perubahan iklim sangat mempengaruhi petani terutama petani perempuan yang kehilangan sumber mata pencaharian. Harapannya, pemerintah Aceh Besar menetapkan wilayah Lhoknga menjadi kawasan karst sehingga tidak boleh di eksploitasi karena akan menyebabkan krisis air yang berkepanjangan.
"Akibat roses pertambangan yang terjadi di wilayah Lhoknga selama ini menyebabkan masyarakat di sekitar Lokasi pertambangan mengalami kekeringan," pungkasnya.[]